Laman

Thursday, July 30, 2015

Lika Liku Pilkada

Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang baru disahkan DPR beberapa waktu lalu, menimbulkan gonjang-ganjing politik sampai saat ini. Pro-kontra timbul antara kelompok yang menginginkan pilkada langsung oleh rakyat dan yang menginginkan pemilihan kepala daerah melalui DPRD.

Dua kelompok itu punya argumentasi masing-masing. Menolak pilkada langsung misalnya, menganggap pilkada lewat DPRD lebih murah dan tidak mencemari masyarakat dengan politik uang. Pihak yang menginginkan pilkada langsung menganggap politik uang hanya berpindah lokasi ke gedung DPRD jika pilkada dilakukan lewat DPRD.

Perdebatan soal mekanisme pilkada, sesungguhnya bukan terjadi sekali ini saja. Perdebatan itu telah berlangsung bahkan sejak zaman kolonial. Perdebatan itu umumnya berpangkal dari persoalan hubungan pusat dan daerah, bagaimana pengelolaan keuangan dan alokasi sumber daya ekonominya.


Perundang-undangan terkait pilkada terus berganti dari waktu ke waktu. Pengangkatan langsung dari pemimpin tertinggi, perwakilan rakyat di daerah, hingga pemilihan langsung oleh rakyat, menjadi opsi bagi implementasi desentralisasi pemerintahan.

Pada era kolonialisme Belanda, pemerintah Hindia Belanda telah merasa perlu mengatur administrasi wilayahnya yang luas. Karenanya, perlu dibuat pemerintahan-pemerintahan tingkat daerah.  

Hasil Bentukan Belanda

 Pada 1903, melalui UU yang dinamakan Decentralisatie Wet, Pemerintahan Belanda memberi peluang dibentuknya satuan pemerintahan di daerah yang mempunyai sistem keuangan sendiri.

Kemudian, pada 1904 Dibentuk Decentralisatie Desluit, arahan pada upaya pembentukan raden, pemilihan anggota raad (DPRD), hak dan kewajiban, serta kewenangan dan cara kerjanya.
Dikarenakan banyak kendala yang dihadapi dan dirasa kurang memuaskan akibat hanya sedikit uang yang diserahkan ke daerah, UU Desentralisasi 1903 kemudian diperbaharui dengan peraturan baru, yang dikenal dengan nama Wet op de Bestuurhervorming 1922.

Undang-undang ini yang kemudian menjadi dasar pembentukan provinsi, dewan provinsi (provinciaal raad), pengangkatan gubernur, dan pembentukan college van gedeputeerden (Dewan Pelaksana Pemerintahan Harian).
Gubernur diangkat gubernur jenderal dan berkedudukan sebagai ketua provinciale raad serta college van gedeputeerden. Jadi, sampai sini pemilihan seorang kepala daerah masih diangkat pemerintah, dalam hal ini Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Rezim penjajahan Belanda berganti, Jepang muncul. Berbagai perubahan bentuk pemerintahan yang telah ada pada masa penjajahan Hindia Belanda dilaksanakan pemerintahan Jepang. Perubahan mendasar seperti struktur pemerintahan sebelum masuknya Jepang terdiri atas gubernur jenderal, gubernur, residen dan controleur, kasunan, bupati, serta wedana dan asisten wedana. Itu kemudian diubah menjadi struktur yang bersifat teritorial, dibagi dalam tiga komando oleh pemerintahan Jepang, yaitu Sumatera di bawah komando Panglima Angkatan Darat XXV yang berkedudukan di Bukittinggi, Jawa dan Madura berada di bawah komando panglima Angkatan Darat XVI yang berkedudukan di Jakarta.

Daerah lainnya berada dibawah komando panglima Angkatan Laut di Makassar. Hierarki komando utama adalah gunseireiken/saiko sikkan (panglima besar yang sejajar gubernur jenderal), yang mengeluarkan peraturan-peraturan disebut osamu seirei dan gunseiken (pembesar pemerintahan). Di wilayah komando Jawa-Madura, gunseireiken mengeluarkan Osamu Seirei 1942/27 tentang tata pemerintahan daerah, dengan membagi Jawa ke dalam beberapa syuu (dikepalai syuutyookan). Kemudian syuu dibagi dalam beberapa ken (yang dikepalai kentyoo). Ken dibagi kedalam beberapa si (yang dikepalai sityoo).

Struktur tersebut menghilangkan gubernur dan parlemen.
Struktur pemerintahan yang dibangun Jepang tersebut dalam rangka kepentingan militer Jepang di Indonesia, yang sewaktu-waktu dengan mudah dapat dimobilisasi untuk mencapai tujuan-tujuan pemerintahan militer Jepang (Yusoff dan Yusron, 2007; 105). Pada 1945 Melalui UU Nomor 1/1945, kepala daerah yang diangkat adalah kepala daerah pada masa sebelumnya. Saat itu situasi politik, keamanan, dan hukum ketatanegaraan tidak baik. Kemudian, dalam Pasal 18 UU Nomor 22/1948 pemerintah yang baru lahir menyatakan gubernur diangkat presiden dari calon yang diajukan DPRD.

Bupati diangkat menteri dalam negeri dari calon yang diajukan DPRD Kabupaten.
Pada UU Nomor 1/1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang memiunculkan istilah daerah “swantra”, yaitu daerah yang mampu mengurus rumah tangganya sendiri, mulai dikonsepkan dalam proses politik. Namun, dalam implementasinya belum dapat dilaksanakan.

Pada 1959, melalui Tappres Nomor 6/1959 diatur mekanisme dan prosedur pengangkatan kepala daerah. Dalam UU ini, kepala daerah diangkat dan diberhentikan presiden atau menteri dalam negeri.

Pada 1965, dalam UU Nomor 18/1965 kepala daerah diangkat dan diberhentikan presiden atau menteri dalam negeri melalui calon-calon yang diajukan DPRD. Ketentuan ini berubah lagi pada 1974, melalui UU Nomor 5/1974, yang menyatakan kepala daerah diangkat presiden dari calon yang memenuhi syarat, tata cara seleksi calon yang dilakukan oleh DPRD.  

Era Reformasi

Pada era Reformasi, terbitlah UU 22/1999, kepala daerah dipilih dan diangkat sepenuhnya oleh anggota DPRD. Rezim pemilihan langsung akhirnya mulai melalui UU 32/2004, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Untuk pertama kalinya, rakyat dapat memilih lamngsung pemimpin di provinsi dan kabupaten/kotanya.

Pilkada pertama kali diselenggarakan bulan Juni 2005 di Kabupaten Kutai Kartanegara. Selanjutnya, pada 2007, UU Nomor 22/2007 tentang penyelenggaraan pemilihan umum disahkan dan pilkada dimasukkan pada rezim pemilu. Istilah “pilkada” mulai dikenal.

Pada 2011, melalui UU Nomor 15/2011, disebutkan istilah-istilah pilkada secara spesifik, yaitu pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota. Namun, pada 2014, melalui sidang paripurna 26 September 2014, DPR mengembalikan lagi kewenangan pemilihan itu kepada DPRD. Hal ini menimbulkan kontroversi di masyarakat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun menerbitkan perppu pada awal Oktober, agar pilkada tetap langsung oleh rakyat.



Sumber : Budiharjo (2008), Prihatmoko (2005), dan berbagai sumber/Litbang SH/RDT

No comments:

Post a Comment