Laman

Thursday, July 30, 2015

5 Tokoh Layak Jadi Calon Bupati Brebes

Pilkada Brebes 2 Tahun lagi akan diselenggarakan serentak, Berikut 5 Tokoh Brebes yang menurut admin Layak Menjadi Calon Bupati Brebes.
  1. Idza Prianti
    Petahana yang menurut saya kemungkinan mencalonkan diri lagi menjadi Calon Bupati Brebes tahun 2017, apalagi ada sebagian penduduk brebes yang menganggap bahwa idza prianti berhasil memimpin kabupaten brebes dengan baik.
  2.  Narjo
Selain idza prianti, Petahana wakil Bupati Brebes ini diprediksikan akan mencalonkan diri menjadi calon bupati / wakil bupati.
      3. Muhadi Setiadi
 Bila di Bandung ada "Raja Daerah" yaitu Walikota Ridwan Kamil, di Brebes ada pengusaha top Muhadi Setiabudi. Bedanya Ridwan Kamil lebih dikenal sebagai Arsitek Hebat, sedangkan Muhadi dikenal sebagai pengusaha ulet yang dulunya bekas kondektur bus. Kesamaannya adalah sangat populer di daerahnya masing masing. Mana ada orang Brebes-Tegal tidak kenal Muhadi Setiabudi, big boss Grup Dedy Jaya yang kesohor itu? Muhadi (51) juga dikenal sebagai tokoh sentral di Kabupaten Brebes. Usahanya maju luar biasa. Dari mulai armada Bus Dedy Jaya  200 armada bus,  SPBU, Pabrik Es, Toko Bahan Bangunan, Mall Dedy Jaya, Hotel Dedy Jaya, Komplek Perumahan Dedy Jaya, hingga Universitas Muhadi Setiabudi yang sedang dibangun dengan fasilitas modern. Sehingga layak diprediksikan menjadi calon bupati brebes.
     4. Agung Widiantoro
Mantan Bupati Brebes periode 10 Mei 201 - 4 Desember 2012, menggantikan bupati sebelumnya, H. Indra Kusuma yang berhalangan tetap secara konstitusi. Sebelum menjabat, dia adalah Plt (pelaksana tugas) Bupati yang ditunjuk oleh Gubernur Jawa Tengah. Saat ini Agung mengemban tugas sebagai anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar periode 2014 - 2019. Tokoh ini diprediksi akan mendaftakan menjadi calon bupati brebes apalagi tokoh ini mempunyai basis pendukung yang kuat.
     5. Sudirman Said
Tokoh nasional Sudirman Said (lahir di Brebes, 16 April 1963; umur 52 tahun), adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia pada Kabinet Kerja yang menjabat sejak 27 Oktober 2014. Ia dikenal sebagai tokoh antikorupsi, pekerja rehabilitasi kawasan bencana, eksekutif di industri minyak dan gas, serta direktur utama perusahaan senjata nasional. Semoga Beliau mau pulang kampung membangun daerah kelahirannya dengan mencalonkan diri menjadi Calon bupati Brebes.

Hasil Rekapiltulasi Pilkada Brebes Tahun 2012

untuk mereview saja dan mengingatkan kembali hasil pemilukada kabupaten brebes sebelumnya. Berikut Hasil Rekapitulasi Pilkada Brebes Tahun 2012,
berikut ini Hasil rekapitulasi penghitungan perolehan suara Pemilihan Umum Bupati dan Wakil Bupati Brebes 2012 oleh KPUD Brebes sebagai berikut :

Kecamatan Salem: TAAT 16.536 suara – IJO 16.323 suara.
Kecamatan Bantarkawung: TAAT 23.300 suara – IJO 23.134 suara.
KecamatanBumiayu: TAAT 29.221 suara – IJO 19.102 suara.
Kecamatan Paguyangan: TAAT 27.173 suara – IJO 19.777 suara.
Kecamatan Sirampog: TAAT 14.921 suara – IJO 12.935 suara.
Kecamatan Tonjong: TAAT 18.231 suara – IJO 13.544 suara.
Kecamatan Banjarharjo: TAAT 28.321 suara – IJO 29.937 suara.
Kecamatan Jatibarang: TAAT 22.017 suara – IJO 18.905 suara.
Kecamatan Wanasari: TAAT 34.012 suara – IJO 38.339 suara.
Kecamatan Brebes: TAAT 39.578 suara – IJO 41.024 suara.
Kecamatan Songgom: TAAT 15.191 suara – IJO 19.615 suara.
Kecamatan Tanjung: TAAT 19.373 suara – IJO 26.464 suara.
Kecamatan Kersana: TAAT 11.328 suara – IJO 19.948 suara.
Kecamatan Losari: TAAT 28.679 suara – IJO 31.982 suara.
Kecamatan Bulakamba: TAAT 33.542 suara – IJO 40.949 suara.
Kecamatan Larangan: TAAT 31.199 suara – IJO 42.275 suara.
Kecamatan Ketanggungan: TAAT 27.290 suara – IJO 37.958 suara.

Untuk pemilukada pilkada brebesawal tahun 2017, kira kira sipa yang kan menjadi bupati dan wakil bupati ?

Lika Liku Pilkada

Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang baru disahkan DPR beberapa waktu lalu, menimbulkan gonjang-ganjing politik sampai saat ini. Pro-kontra timbul antara kelompok yang menginginkan pilkada langsung oleh rakyat dan yang menginginkan pemilihan kepala daerah melalui DPRD.

Dua kelompok itu punya argumentasi masing-masing. Menolak pilkada langsung misalnya, menganggap pilkada lewat DPRD lebih murah dan tidak mencemari masyarakat dengan politik uang. Pihak yang menginginkan pilkada langsung menganggap politik uang hanya berpindah lokasi ke gedung DPRD jika pilkada dilakukan lewat DPRD.

Perdebatan soal mekanisme pilkada, sesungguhnya bukan terjadi sekali ini saja. Perdebatan itu telah berlangsung bahkan sejak zaman kolonial. Perdebatan itu umumnya berpangkal dari persoalan hubungan pusat dan daerah, bagaimana pengelolaan keuangan dan alokasi sumber daya ekonominya.


Perundang-undangan terkait pilkada terus berganti dari waktu ke waktu. Pengangkatan langsung dari pemimpin tertinggi, perwakilan rakyat di daerah, hingga pemilihan langsung oleh rakyat, menjadi opsi bagi implementasi desentralisasi pemerintahan.

Pada era kolonialisme Belanda, pemerintah Hindia Belanda telah merasa perlu mengatur administrasi wilayahnya yang luas. Karenanya, perlu dibuat pemerintahan-pemerintahan tingkat daerah.  

Hasil Bentukan Belanda

 Pada 1903, melalui UU yang dinamakan Decentralisatie Wet, Pemerintahan Belanda memberi peluang dibentuknya satuan pemerintahan di daerah yang mempunyai sistem keuangan sendiri.

Kemudian, pada 1904 Dibentuk Decentralisatie Desluit, arahan pada upaya pembentukan raden, pemilihan anggota raad (DPRD), hak dan kewajiban, serta kewenangan dan cara kerjanya.
Dikarenakan banyak kendala yang dihadapi dan dirasa kurang memuaskan akibat hanya sedikit uang yang diserahkan ke daerah, UU Desentralisasi 1903 kemudian diperbaharui dengan peraturan baru, yang dikenal dengan nama Wet op de Bestuurhervorming 1922.

Undang-undang ini yang kemudian menjadi dasar pembentukan provinsi, dewan provinsi (provinciaal raad), pengangkatan gubernur, dan pembentukan college van gedeputeerden (Dewan Pelaksana Pemerintahan Harian).
Gubernur diangkat gubernur jenderal dan berkedudukan sebagai ketua provinciale raad serta college van gedeputeerden. Jadi, sampai sini pemilihan seorang kepala daerah masih diangkat pemerintah, dalam hal ini Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Rezim penjajahan Belanda berganti, Jepang muncul. Berbagai perubahan bentuk pemerintahan yang telah ada pada masa penjajahan Hindia Belanda dilaksanakan pemerintahan Jepang. Perubahan mendasar seperti struktur pemerintahan sebelum masuknya Jepang terdiri atas gubernur jenderal, gubernur, residen dan controleur, kasunan, bupati, serta wedana dan asisten wedana. Itu kemudian diubah menjadi struktur yang bersifat teritorial, dibagi dalam tiga komando oleh pemerintahan Jepang, yaitu Sumatera di bawah komando Panglima Angkatan Darat XXV yang berkedudukan di Bukittinggi, Jawa dan Madura berada di bawah komando panglima Angkatan Darat XVI yang berkedudukan di Jakarta.

Daerah lainnya berada dibawah komando panglima Angkatan Laut di Makassar. Hierarki komando utama adalah gunseireiken/saiko sikkan (panglima besar yang sejajar gubernur jenderal), yang mengeluarkan peraturan-peraturan disebut osamu seirei dan gunseiken (pembesar pemerintahan). Di wilayah komando Jawa-Madura, gunseireiken mengeluarkan Osamu Seirei 1942/27 tentang tata pemerintahan daerah, dengan membagi Jawa ke dalam beberapa syuu (dikepalai syuutyookan). Kemudian syuu dibagi dalam beberapa ken (yang dikepalai kentyoo). Ken dibagi kedalam beberapa si (yang dikepalai sityoo).

Struktur tersebut menghilangkan gubernur dan parlemen.
Struktur pemerintahan yang dibangun Jepang tersebut dalam rangka kepentingan militer Jepang di Indonesia, yang sewaktu-waktu dengan mudah dapat dimobilisasi untuk mencapai tujuan-tujuan pemerintahan militer Jepang (Yusoff dan Yusron, 2007; 105). Pada 1945 Melalui UU Nomor 1/1945, kepala daerah yang diangkat adalah kepala daerah pada masa sebelumnya. Saat itu situasi politik, keamanan, dan hukum ketatanegaraan tidak baik. Kemudian, dalam Pasal 18 UU Nomor 22/1948 pemerintah yang baru lahir menyatakan gubernur diangkat presiden dari calon yang diajukan DPRD.

Bupati diangkat menteri dalam negeri dari calon yang diajukan DPRD Kabupaten.
Pada UU Nomor 1/1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang memiunculkan istilah daerah “swantra”, yaitu daerah yang mampu mengurus rumah tangganya sendiri, mulai dikonsepkan dalam proses politik. Namun, dalam implementasinya belum dapat dilaksanakan.

Pada 1959, melalui Tappres Nomor 6/1959 diatur mekanisme dan prosedur pengangkatan kepala daerah. Dalam UU ini, kepala daerah diangkat dan diberhentikan presiden atau menteri dalam negeri.

Pada 1965, dalam UU Nomor 18/1965 kepala daerah diangkat dan diberhentikan presiden atau menteri dalam negeri melalui calon-calon yang diajukan DPRD. Ketentuan ini berubah lagi pada 1974, melalui UU Nomor 5/1974, yang menyatakan kepala daerah diangkat presiden dari calon yang memenuhi syarat, tata cara seleksi calon yang dilakukan oleh DPRD.  

Era Reformasi

Pada era Reformasi, terbitlah UU 22/1999, kepala daerah dipilih dan diangkat sepenuhnya oleh anggota DPRD. Rezim pemilihan langsung akhirnya mulai melalui UU 32/2004, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Untuk pertama kalinya, rakyat dapat memilih lamngsung pemimpin di provinsi dan kabupaten/kotanya.

Pilkada pertama kali diselenggarakan bulan Juni 2005 di Kabupaten Kutai Kartanegara. Selanjutnya, pada 2007, UU Nomor 22/2007 tentang penyelenggaraan pemilihan umum disahkan dan pilkada dimasukkan pada rezim pemilu. Istilah “pilkada” mulai dikenal.

Pada 2011, melalui UU Nomor 15/2011, disebutkan istilah-istilah pilkada secara spesifik, yaitu pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota. Namun, pada 2014, melalui sidang paripurna 26 September 2014, DPR mengembalikan lagi kewenangan pemilihan itu kepada DPRD. Hal ini menimbulkan kontroversi di masyarakat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun menerbitkan perppu pada awal Oktober, agar pilkada tetap langsung oleh rakyat.



Sumber : Budiharjo (2008), Prihatmoko (2005), dan berbagai sumber/Litbang SH/RDT