Undang-undang Pemilihan
Kepala Daerah (Pilkada) yang baru disahkan DPR beberapa waktu lalu, menimbulkan
gonjang-ganjing politik sampai saat ini. Pro-kontra timbul antara kelompok yang
menginginkan pilkada langsung oleh rakyat dan yang menginginkan pemilihan
kepala daerah melalui DPRD.
Dua kelompok itu punya argumentasi
masing-masing. Menolak pilkada langsung misalnya, menganggap pilkada lewat DPRD
lebih murah dan tidak mencemari masyarakat dengan politik uang. Pihak yang
menginginkan pilkada langsung menganggap politik uang hanya berpindah lokasi ke
gedung DPRD jika pilkada dilakukan lewat DPRD.
Perdebatan soal mekanisme pilkada,
sesungguhnya bukan terjadi sekali ini saja. Perdebatan itu telah berlangsung
bahkan sejak zaman kolonial. Perdebatan itu umumnya berpangkal dari persoalan hubungan
pusat dan daerah, bagaimana pengelolaan keuangan dan alokasi sumber daya
ekonominya.
Perundang-undangan
terkait pilkada terus berganti dari waktu ke waktu. Pengangkatan langsung dari pemimpin
tertinggi, perwakilan rakyat di daerah, hingga pemilihan langsung oleh rakyat, menjadi
opsi bagi implementasi desentralisasi pemerintahan.
Pada era kolonialisme
Belanda, pemerintah Hindia Belanda telah merasa perlu mengatur administrasi
wilayahnya yang luas. Karenanya, perlu dibuat pemerintahan-pemerintahan tingkat
daerah.
Hasil
Bentukan Belanda
Pada 1903,
melalui UU yang dinamakan Decentralisatie Wet, Pemerintahan Belanda memberi
peluang dibentuknya satuan pemerintahan di daerah yang mempunyai sistem
keuangan sendiri.
Kemudian, pada 1904 Dibentuk Decentralisatie Desluit, arahan
pada upaya pembentukan raden, pemilihan anggota raad (DPRD), hak dan
kewajiban, serta kewenangan dan cara kerjanya.
Dikarenakan
banyak kendala yang dihadapi dan dirasa kurang memuaskan akibat hanya sedikit
uang yang diserahkan ke daerah, UU Desentralisasi 1903 kemudian diperbaharui
dengan peraturan baru, yang dikenal dengan nama Wet op de Bestuurhervorming 1922.
Undang-undang
ini yang kemudian menjadi dasar pembentukan provinsi, dewan provinsi (provinciaal
raad), pengangkatan gubernur, dan pembentukan college van gedeputeerden (Dewan
Pelaksana Pemerintahan Harian).
Gubernur
diangkat gubernur jenderal dan berkedudukan sebagai ketua provinciale raad serta
college van gedeputeerden. Jadi, sampai sini pemilihan seorang kepala
daerah masih diangkat pemerintah, dalam hal ini Gubernur Jenderal Hindia
Belanda.
Rezim
penjajahan Belanda berganti, Jepang muncul. Berbagai perubahan bentuk
pemerintahan yang telah ada pada masa penjajahan Hindia Belanda dilaksanakan
pemerintahan Jepang. Perubahan mendasar seperti struktur pemerintahan sebelum
masuknya Jepang terdiri atas gubernur jenderal, gubernur, residen dan controleur,
kasunan, bupati, serta wedana dan asisten wedana.
Itu kemudian
diubah menjadi struktur yang bersifat teritorial, dibagi dalam tiga komando
oleh pemerintahan Jepang, yaitu Sumatera di bawah komando Panglima Angkatan Darat
XXV yang berkedudukan di Bukittinggi, Jawa dan Madura berada di bawah komando
panglima Angkatan Darat XVI yang berkedudukan di Jakarta.
Daerah lainnya berada
dibawah komando panglima Angkatan Laut di Makassar.
Hierarki
komando utama adalah gunseireiken/saiko sikkan (panglima besar
yang sejajar gubernur jenderal), yang mengeluarkan peraturan-peraturan disebut osamu
seirei dan gunseiken (pembesar pemerintahan). Di wilayah komando
Jawa-Madura, gunseireiken mengeluarkan Osamu Seirei 1942/27 tentang tata
pemerintahan daerah, dengan membagi Jawa ke dalam beberapa syuu (dikepalai
syuutyookan). Kemudian syuu dibagi dalam beberapa ken (yang
dikepalai kentyoo). Ken dibagi kedalam beberapa si (yang
dikepalai sityoo).
Struktur tersebut menghilangkan gubernur dan
parlemen.
Struktur
pemerintahan yang dibangun Jepang tersebut dalam rangka kepentingan militer
Jepang di Indonesia, yang sewaktu-waktu dengan mudah dapat dimobilisasi untuk
mencapai tujuan-tujuan pemerintahan militer Jepang (Yusoff dan Yusron, 2007;
105).
Pada 1945
Melalui UU Nomor 1/1945, kepala daerah yang diangkat adalah kepala daerah pada
masa sebelumnya. Saat itu situasi politik, keamanan, dan hukum
ketatanegaraan tidak baik. Kemudian, dalam Pasal 18 UU Nomor 22/1948 pemerintah
yang baru lahir menyatakan gubernur diangkat presiden dari calon yang diajukan
DPRD.
Bupati diangkat menteri dalam negeri dari calon yang diajukan DPRD
Kabupaten.
Pada UU
Nomor 1/1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang memiunculkan istilah
daerah “swantra”, yaitu daerah yang mampu mengurus rumah tangganya sendiri, mulai
dikonsepkan dalam proses politik. Namun, dalam implementasinya belum dapat
dilaksanakan.
Pada 1959,
melalui Tappres Nomor 6/1959 diatur mekanisme dan prosedur pengangkatan kepala
daerah. Dalam UU ini, kepala daerah diangkat dan diberhentikan presiden atau
menteri dalam negeri.
Pada 1965,
dalam UU Nomor 18/1965 kepala daerah diangkat dan diberhentikan presiden atau
menteri dalam negeri melalui calon-calon yang diajukan DPRD. Ketentuan ini
berubah lagi pada 1974, melalui UU Nomor 5/1974, yang menyatakan kepala daerah
diangkat presiden dari calon yang memenuhi syarat, tata cara seleksi calon yang
dilakukan oleh DPRD.
Era
Reformasi
Pada era Reformasi,
terbitlah UU 22/1999, kepala daerah dipilih dan diangkat sepenuhnya oleh
anggota DPRD. Rezim pemilihan langsung akhirnya mulai melalui UU 32/2004,
kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Untuk pertama kalinya, rakyat dapat memilih
lamngsung pemimpin di provinsi dan kabupaten/kotanya.
Pilkada
pertama kali diselenggarakan bulan Juni 2005 di Kabupaten Kutai Kartanegara.
Selanjutnya, pada 2007, UU Nomor 22/2007 tentang penyelenggaraan pemilihan umum
disahkan dan pilkada dimasukkan pada rezim pemilu. Istilah “pilkada” mulai
dikenal.
Pada 2011, melalui UU Nomor 15/2011, disebutkan
istilah-istilah pilkada secara spesifik, yaitu pemilihan gubernur, bupati, dan wali
kota. Namun, pada 2014, melalui sidang paripurna 26 September 2014, DPR mengembalikan
lagi kewenangan pemilihan itu kepada DPRD. Hal ini menimbulkan kontroversi di
masyarakat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun menerbitkan perppu pada awal Oktober,
agar pilkada tetap langsung oleh rakyat.
Sumber : Budiharjo (2008), Prihatmoko (2005), dan berbagai sumber/Litbang SH/RDT